Learner Engagement: Faktor Penting Dalam Retensi Pengetahuan

Sebagian besar organisasi menyadari bahwa keterlibatan peserta didik merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan mereka. Namun, apa sebenarnya makna dari keterlibatan ini? Meski istilah learner engagement sering digunakan, masih banyak yang menyamakan konsep ini dengan hal-hal lain yang sebenarnya berbeda. Karena itu, mari kita perjelas dengan mendefinisikan learner engagement dan melihat bagaimana penerapannya dalam dunia kerja yang terus berkembang.
Apa Itu Learner Engagement?
Mari kita mulai dengan memahami definisinya. Learner Engagement adalah kondisi ketika peserta didik terlibat secara aktif, termotivasi, dan memiliki keterikatan yang kuat dengan proses belajar. Hal ini mencakup interaksi mereka dengan materi, instruktur, maupun sesama peserta. Dengan kata lain, learner engagement mencerminkan seberapa efektif sebuah pengalaman belajar bagi semua pihak yang terlibat. Pada akhirnya, tingkat keterlibatan ini akan berpengaruh pada pemahaman serta penerapan pengetahuan yang lebih baik.
Lalu, apa yang dimaksud dengan peserta didik yang terlibat (engaged learner)? Mereka bukan hanya menyelesaikan tugas, tetapi juga benar-benar terlibat, termotivasi, dan bersemangat dalam belajar. Hal ini berlaku baik untuk karyawan yang bekerja di kantor, dari rumah, maupun dalam sistem kerja hibrida.
Untuk memahaminya lebih jauh, mari kita lihat seperti apa ciri-ciri peserta didik yang benar-benar terlibat.
Mengapa Learning Engagement Sangat Penting?
Learning engagement adalah elemen utama yang membuat program pembelajaran berkelanjutan tetap berjalan efektif. Tanpa keterlibatan ini, peserta tidak akan serius mengikuti kursus, enggan mengambil kursus lain, dan akhirnya berhenti belajar.
Selain itu, learner engagement menjadikan proses pembelajaran lebih menyenangkan dan bermakna. Peserta yang menunjukkan tingkat keterlibatan tinggi cenderung lebih berhasil mencapai tujuan pembelajaran serta membangun hubungan yang lebih kuat dengan program yang mereka ikuti.
Sebaliknya, rendahnya tingkat keterlibatan sering kali menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya ketidakhadiran dan berkurangnya motivasi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengarahkan peserta pada risiko berhenti atau keluar dari program pembelajaran.
Seperti Apa Seorang Peserta Didik Yang Terlibat (Engaged Learner)?
Peserta didik yang terlibat biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Aktif dalam proses belajar
- Antusias untuk berpartisipasi
- Bersedia berusaha lebih
- Termotivasi untuk berkembang
- Terinspirasi oleh materi pembelajaran
Sebagai contoh, peserta didik yang terlibat akan secara konsisten menyelesaikan tugas, menghasilkan pekerjaan berkualitas, serta aktif berpartisipasi dalam ruang kolaboratif (misalnya forum diskusi), bahkan dalam pembelajaran jarak jauh. Sebaliknya, jika mereka hanya menyelesaikan tugas tanpa antusiasme, menghindari aktivitas kolaboratif seperti webinar atau diskusi, atau hasil pekerjaannya kurang memuaskan, hal tersebut menandakan kurangnya keterlibatan.
Apakah seorang peserta didik yang merasa senang otomatis bisa disebut terlibat (engaged)?
Belajar memang bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan. Namun, rasa senang saja tidak cukup untuk menunjukkan keterlibatan.
Visual menarik, video yang menghibur, atau grafik yang lucu memang dapat menarik perhatian peserta didik. Akan tetapi, keterlibatan sejati muncul dari adanya keinginan untuk benar-benar belajar dan menerapkan pengetahuan. Peserta didik yang benar-benar terlibat akan memanfaatkan elemen-elemen menyenangkan tersebut sebagai motivasi untuk lebih mendalami materi dan meningkatkan keterampilan mereka. Sebaliknya, jika motivasi utama hanya kesenangan dari video atau permainan peringkat, maka keterlibatan mereka bersifat dangkal.
3 Dimensi Engagement
Keterlibatan (engagement) tidak bersifat hitam-putih, seolah hanya “aktif” atau “tidak aktif.” Sebaliknya, keterlibatan terjadi pada beberapa tingkat sekaligus. Jika seorang peserta didik hanya terlibat pada satu tingkat, tetapi tidak pada yang lain, maka kinerjanya dan kemampuan menyerap pengetahuan akan berkurang.
Sebagai contoh, 60% karyawan cenderung melakukan multitasking saat mengikuti pelatihan daring, misalnya dengan membalas email atau memeriksa notifikasi. Perhatian yang terbagi ini menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan pada satu tingkat saja sudah cukup untuk melemahkan pengalaman belajar secara keseluruhan.
Lalu, seperti apa wujud keterlibatan yang ideal? Mari kita lihat tiga jenis keterlibatan utama pada peserta didik.
- Keterlibatan Perilaku (Behavioral Engagement): Peserta aktif berpartisipasi dengan menyelesaikan tugas, menghadiri sesi pelatihan, dan menindaklanjuti setiap aktivitas yang diberikan.
- Keterlibatan Kognitif (Cognitive Engagement): Peserta benar-benar terlibat secara mental, berfokus pada pemahaman, pemecahan masalah, serta penerapan pengetahuan baru.
- Keterlibatan Emosional (Emotional Engagement): Peserta memiliki ikatan pribadi dengan materi pembelajaran, merasa tertarik, dan termotivasi secara emosional untuk terus belajar.
Untuk memahami lebih jauh cara meningkatkan keterlibatan, mari kita telusuri lebih dalam ketiga tingkatan utama ini.
1. Tingkat Kognitif
Keterlibatan kognitif berarti peserta didik benar-benar terlibat secara mental dalam proses belajar.
Misalnya, ada yang membuat singkatan (mnemonik) untuk mengingat materi yang rumit, atau menggambar peta konsep untuk menyusun informasi baru. Peserta seperti ini berinisiatif mengaitkan pembelajaran dengan konteks mereka sendiri. Mereka juga menggunakan berbagai strategi agar informasi lebih mudah diserap dan kinerja mereka meningkat.
Keterlibatan kognitif muncul ketika peserta merasa percaya diri terhadap pekerjaannya dan yakin mampu menguasai pengetahuan baru. Untuk mendukung hal ini, penting menyediakan kursus dengan desain yang baik serta materi pelatihan yang konsisten. Selain itu, penggunaan alat berbasis AI dapat membantu melacak perkembangan peserta dan merekomendasikan materi sesuai kebutuhan masing-masing. Dengan begitu, pembelajaran terasa lebih relevan dan personal, sehingga peserta tetap termotivasi untuk terlibat.
2. Tingkat Emosional
Keterlibatan emosional berkaitan dengan perasaan terhubung.
Peserta didik yang terlibat secara emosional merasa memiliki tujuan dan rasa kebersamaan dalam proses belajar. Saat pelatihan, mereka merasakan hubungan dengan orang lain maupun konteks pelatihannya, lebih berkomitmen, serta mengalami tingkat kecemasan yang rendah. Namun, rasa keterhubungan ini lebih sulit dibangun dalam pembelajaran jarak jauh atau hybrid, di mana peserta sering kali merasa terisolasi.
Untuk mengatasinya, penggunaan alat pembelajaran sosial seperti forum diskusi, webinar, dan interaksi virtual dengan rekan sejawat dapat membantu membangun rasa kebersamaan dan menciptakan komunitas belajar.
Selain itu, desain dan pelaksanaan kursus yang baik juga penting untuk mencegah rasa terisolasi. Jika peserta memahami dengan jelas mengapa pelatihan itu penting dan bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan kinerja serta kerja sama mereka, mereka lebih mudah terhubung secara emosional dengan materi. Dukungan aktif dari pelatih maupun pakar materi juga menjadi faktor penting untuk memperkuat keterlibatan emosional peserta.
3. Tingkat Perilaku
Keterlibatan perilaku adalah bentuk keterlibatan yang paling mudah diamati, sehingga sering dijadikan ukuran oleh banyak organisasi. Peserta didik yang terlibat pada tingkat ini biasanya terlihat aktif: mereka menyelesaikan tugas, menghadiri sesi pelatihan, dan ikut serta dalam diskusi.
Namun, keterlibatan perilaku sering kali hanya memberikan gambaran di permukaan. Menyelesaikan aktivitas atau mengikuti pelatihan tidak selalu berarti peserta benar-benar memahami, mengingat, atau mampu menerapkan pengetahuan baru. Dengan kata lain, meskipun tampak aktif, keterlibatan mereka bisa tetap pasif.
Jika keterlibatan perilaku tidak diimbangi dengan keterlibatan kognitif dan emosional, peserta cenderung hanya menyelesaikan pelatihan sebagai formalitas, tanpa adanya peningkatan keterampilan atau pemahaman yang berarti. Hal ini terutama sering terjadi pada peserta dewasa, yang melihat pelatihan hanya sebagai kewajiban.
Untuk mengidentifikasi keterlibatan rendah meskipun ada partisipasi, perhatikan kualitas upaya peserta dalam aktivitas pelatihan. Hasilnya biasanya dangkal, dengan daya ingat yang terbatas saat dievaluasi. Untuk mengatasi hal ini, penting merancang pelatihan yang sesuai dengan beragam preferensi belajar, termasuk mempertimbangkan perbedaan generasi yang berpengaruh pada cara peserta terlibat.
Keterlibatan Dalam Pembelajaran Dewasa
Mengajar peserta didik dewasa dapat menjadi tantangan yang berat. Tidak hanya mereka memiliki banyak tanggung jawab dan kewajiban, tetapi kebutuhan dan preferensi mereka juga bervariasi tergantung pada pengalaman, generasi, lokasi, dan faktor lain.
Membentuk pembelajaran dewasa untuk meningkatkan keterlibatan di semua tingkatan
Orang dewasa termotivasi untuk tetap terlibat di ketiga tingkatan utama ketika:
1. Kesempatan Untuk Mengeksplorasi
Dalam merancang kursus, pertimbangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan keterlibatan pembelajar dewasa. Berikan tugas eksploratif yang mendorong mereka untuk melakukan penelitian di luar materi kursus. Tugas semacam ini dapat memicu rasa ingin tahu dan memperluas wawasan mereka.
2. Tugas Singkat dan Praktis
Tugas yang singkat dan mudah dikelola lebih sesuai dengan jadwal sibuk orang dewasa. Oleh karena itu, sebaiknya tugas dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang dapat diselesaikan dalam waktu sekitar sepuluh menit.
3. Konten Relevan Dengan Konteks Nyata
Skenario dunia nyata lebih mudah dipahami oleh pembelajar dewasa dan membantu menjaga keterlibatan emosional mereka. Pastikan materi yang diberikan realistis serta menghubungkan tujuan pembelajaran dengan situasi yang benar-benar mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari maupun pekerjaan.
4. Konten Relevan Dengan Konteks Nyata
Skenario dunia nyata lebih mudah dipahami oleh pembelajar dewasa dan membantu mereka tetap terhubung secara emosional. Karena itu, pastikan materi pembelajaran realistis dan tujuan pembelajarannya terkait langsung dengan situasi nyata yang mereka hadapi.
5. Mendapatkan Penguatan Positif Secara Rutin
Orang dewasa terbiasa dengan penghargaan atas pekerjaan yang baik di tempat kerja. Karena itu, mereka sangat membutuhkan umpan balik. Akui setiap kemajuan untuk menjaga motivasi, serta berikan kritik yang membangun agar mereka dapat belajar dari kesalahan. Prinsip seperti psikologi positif, pengakuan, dan apresiasi bisa diterapkan dengan menyediakan kesempatan bagi instruktur atau ahli materi (SME) untuk memberi umpan balik secara konsisten.
6. Perusahaan Membangun Budaya Belajar Berkelanjutan
Budaya perusahaan yang mendukung pembelajaran berkelanjutan akan membuat pembelajar dewasa lebih termotivasi untuk berkembang. Hal ini dapat diwujudkan melalui program pengembangan profesional berkelanjutan, kesempatan mentorship, serta rencana pengembangan pribadi yang jelas. Ketika karyawan melihat bahwa perusahaan menghargai pertumbuhan mereka, keterlibatan dan komitmen untuk meningkatkan keterampilan juga akan meningkat.
Di era kerja jarak jauh dan hybrid yang semakin umum, penting bagi perusahaan untuk memberikan fleksibilitas dalam waktu dan cara karyawan belajar maupun menyelesaikan tugas. Sistem LMS berbasis AI juga dapat mendukung pembelajar dewasa dengan memberikan rekomendasi konten yang dipersonalisasi sesuai dengan perkembangan dan kinerja mereka.
Apa Itu Learner Engagement Dalam Konteks Pelatihan Perusahaan?
Dalam pelatihan perusahaan, learner engagement bukan sekadar menyelesaikan tugas, melainkan benar-benar memperoleh pengetahuan yang dapat langsung diterapkan dalam pekerjaan. Seperti dijelaskan sebelumnya, keterlibatan perilaku saja tidak cukup untuk mengukur engagement secara keseluruhan, meskipun bisa menjadi salah satu indikator kemajuan.
Pembelajar yang terlibat secara kognitif, emosional, dan sosial cenderung lebih mampu menyerap informasi, mengembangkan atau meningkatkan keterampilan, serta memperbaiki kinerja mereka di tempat kerja.
Sebagai contoh, ketika peserta pelatihan benar-benar terlibat dalam program mengenai resolusi konflik dan kerja sama tim, mereka lebih mungkin untuk menunjukkan peningkatan nyata dalam bidang tersebut di masa depan. Hasilnya, tim akan bekerja lebih fokus, produktif, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi organisasi.
Kesimpulan
Learner engagement bukan sekadar ukuran partisipasi, melainkan kunci untuk pembelajaran yang bermakna, meningkatkan daya ingat, dan penerapan nyata di tempat kerja. Dengan mendorong keterlibatan secara perilaku, kognitif, dan emosional, organisasi dapat mengubah pelatihan dari sekadar kewajiban menjadi pengalaman yang mendorong pertumbuhan. Saat pembelajar benar-benar terlibat, mereka tidak hanya menyelesaikan kursus, tetapi juga mengembangkan keterampilan, meningkatkan kinerja, dan memberikan nilai jangka panjang bagi diri mereka sendiri maupun organisasi.
Untuk membaca artikel lain pada Look Media blog, klik pada tautan berikut. Look Media Blog.