Memahami Cognitive Dissonance: Ketika Pikiran dan Perilaku Tidak Selaras

Sering kali, rasa ingin tahu kita terhadap suatu masalah atau terhadap orang lain tertahan karena keengganan menghadapi cognitive dissonance (ketidaksesuaian antara keyakinan, sikap, atau tindakan). Kondisi ini biasanya menimbulkan rasa tidak nyaman, sehingga secara alami kita cenderung menghindarinya. Akibatnya, muncul perilaku seperti mencari pembenaran diri, menyangkal kenyataan, bahkan menyebarkan informasi yang tidak benar.
Menerima sudut pandang lain berarti kita perlu mengubah cara pandang, yang tentu tidak mudah. Justru ketika berhadapan dengan bukti yang bertentangan, orang sering kali semakin kuat berpegang pada keyakinan lamanya.
Di tempat kerja, kecenderungan untuk menghindari cognitive dissonance dapat berdampak serius pada kualitas pengambilan keputusan dan menurunkan kinerja.
Apa Itu Cognitive Dissonance?
Cognitive dissonance adalah perasaan tidak nyaman yang muncul ketika keyakinan, sikap, atau perilaku seseorang saling bertentangan. Karena rasa tidak nyaman ini bisa terasa cukup mengganggu secara fisik, manusia cenderung menghindarinya sebagai bentuk mekanisme perlindungan diri.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa cognitive dissonance dapat menimbulkan ketidaknyamanan fisik. Misalnya, individu yang mengalaminya melaporkan peningkatan rasa sakit atau ketidaknyamanan tubuh.
Dalam sebuah studi, peserta diminta menulis esai yang mendukung atau menentang hukuman mati, lalu mengevaluasi bukti yang bertentangan dengan pandangan mereka. Saat menilai bukti yang berlawanan dengan keyakinan pribadi, para peserta menunjukkan tanda-tanda cognitive dissonance, yang terukur melalui laporan diri dan ekspresi wajah penuh ketidaknyamanan.
Penelitian lain juga menemukan bahwa cognitive dissonance dapat memunculkan perasaan sosial maupun emosional yang intens. Namun, tidak semua orang akan merasakan dampak fisik, sosial, atau emosional yang sama. Tingkat dan intensitas pengalaman ini berbeda pada tiap individu.
Cognitive Dissonance di Tempat Kerja
Individu yang mengalami cognitive dissonance sering kesulitan untuk bekerja dengan baik dan merasa puas. Ketidakmampuan menyelaraskan ide serta perilaku yang saling bertentangan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan stres. Hal ini berpengaruh negatif terhadap pengambilan keputusan, karena individu menjadi sulit menentukan langkah yang paling tepat.
Sebagai contoh, anggota tim yang menjunjung tinggi kejujuran bisa mengalami cognitive dissonance jika diminta berbohong atas nama perusahaan. Keyakinan akan pentingnya kejujuran bertentangan dengan tindakannya, sehingga menimbulkan rasa cemas dan tidak nyaman.
Cognitive dissonance juga dapat membuat individu sulit fokus atau menyelesaikan tugas karena tertekan oleh pikiran dan perilaku yang bertentangan. Dampaknya, kinerja organisasi secara keseluruhan bisa menurun.
Selain itu, individu mungkin terdorong untuk melakukan self-justification atau merasionalisasi keputusan, meskipun bertentangan dengan bukti yang ada. Akibatnya, mereka lebih mengutamakan keyakinan pribadi daripada pertimbangan logis atau berbasis data. Sebaliknya, ada pula yang memilih menghindari pengambilan keputusan sama sekali untuk menghindari ketidaknyamanan. Hal ini dapat memperlambat proses kerja dan menghambat tercapainya keputusan yang tepat waktu.
Dalam jangka panjang, cognitive dissonance juga dapat menurunkan kepuasan kerja. Jika keyakinan pribadi dan tuntutan pekerjaan terus berbenturan, individu akan kesulitan menemukan makna dalam pekerjaannya. Hal ini bisa meningkatkan risiko turnover dan menurunkan tingkat keterikatan karyawan.
Oleh karena itu, organisasi perlu mengenali dan menangani situasi cognitive dissonance. Dengan mengakui adanya konflik pikiran dan perilaku serta membantu karyawan mengatasinya, perusahaan dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, produktivitas, serta kepuasan kerja.
Tanda Anda Mungkin Mengalami Cognitive Dissonance
Ada banyak cara yang kita lakukan untuk menghindari cognitive dissonance. Perilaku ini bisa berupa hal kecil yang tampak sepele, hingga tindakan yang lebih serius dan berpotensi merugikan rekan kerja. Menyadari bahwa hal ini merupakan bagian normal dari pengalaman manusia dapat membantu kita lebih waspada terhadapnya.
Beberapa perilaku yang biasanya muncul sebagai tanda cognitive dissonance antara lain:
- Avoidance (Menghindar): Individu memilih untuk menghindari situasi atau percakapan daripada menghadapi pandangan yang berlawanan.
- Defensiveness (Bersikap defensif): Saat berhadapan dengan pandangan berbeda, sebagian orang menjadi defensif atau bahkan agresif karena merasa terancam.
- Self-justification (Membenarkan diri): Individu berusaha membenarkan keyakinan atau tindakannya meskipun bukti yang ada justru berlawanan.
- Denial (Penolakan): Tidak jarang seseorang menolak atau mendiskreditkan pandangan yang bertentangan dengan keyakinannya.
- Discomfort (Ketidaknyamanan): Banyak orang merasakan ketidaknyamanan atau kegelisahan saat dihadapkan pada pandangan yang bertentangan karena adanya konflik antara keyakinan dan tindakan.
Jika tidak dikelola, cognitive dissonance dapat merugikan pengambilan keputusan dan kinerja. Individu mungkin kesulitan menyatukan pikiran dan perilaku yang saling bertentangan, sehingga menghasilkan keputusan yang kurang tepat. Rasa tidak nyaman dan stres yang muncul juga dapat mengganggu fokus serta membuat seseorang sulit menyelesaikan tugas.
Cara Mengatasi Cognitive Dissonance di Tempat Kerja
Merasa tidak nyaman atau cemas ketika menerima umpan balik atau menghadapi percakapan yang menantang adalah hal yang wajar. Namun, penting juga untuk menyadari bahwa kita memiliki peran dalam mempertahankan cognitive dissonance.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengenali dan mengatasi cognitive dissonance di tempat kerja:
- Mencari Informasi Baru Atau Tambahan: Kadang kala, mendapatkan informasi lebih lanjut dapat membantu meredakan konflik antara pikiran dan perilaku. Tanyakan pada diri sendiri: “Apa yang benar-benar saya ketahui? Apa yang hanya saya asumsikan?”
- Melakukan Komunikasi Terbuka Dan Jujur: Kunci utama dalam menghadapi cognitive dissonance adalah komunikasi. Dengan membicarakan pikiran atau perilaku yang saling bertentangan bersama rekan kerja atau atasan yang dipercaya, individu dapat memperoleh perspektif baru dan kejelasan.
- Mencari Perspektif Luar: Mendapatkan sudut pandang dari orang luar, seperti teman, mentor, atau penasihat dapat membantu melihat situasi dengan cara yang berbeda. Perspektif baru ini sering kali membuka jalan untuk solusi yang lebih tepat.
- Melatih kesadaran diri dan mindfulness: Kesadaran diri dan praktik mindfulness dapat menjadi alat yang efektif. Dengan memperhatikan pikiran, emosi, dan tindakan, individu dapat lebih memahami nilai serta keyakinannya, lalu menyesuaikan tindakan agar selaras dengan itu.
Ketika kita bersikap transparan, autentik, dan penuh empati terhadap orang lain, kita akan membangun hubungan yang lebih kuat sekaligus berupaya mengatasi cognitive dissonance.
Penting untuk diingat bahwa mengalami cognitive dissonance dari waktu ke waktu bukan berarti kita memiliki kelemahan atau “kerusakan” pribadi. Sebaliknya, hal ini adalah bagian alami dari kehidupan yang justru dapat membuka peluang untuk pertumbuhan dan perbaikan diri.
Dengan mendekati situasi secara empatik dan bersedia mendengarkan sudut pandang orang lain, kita dapat berproses menuju penyelesaian cognitive dissonance serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hubungan kita.
Kesimpulan
Ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku (cognitive dissonance) adalah hal yang wajar terjadi di tempat kerja, namun tidak harus menjadi penghalang bagi perkembangan. Ketika individu maupun organisasi mampu menyadari rasa tidak nyaman yang muncul akibat perbedaan tersebut, maka terbuka kesempatan untuk meningkatkan kesadaran diri, memperkuat komunikasi, dan membuat keputusan yang lebih bijak. Dengan menghadapi cognitive dissonance secara terbuka, kita dapat membangun tim yang lebih sehat, mengambil keputusan yang lebih etis, serta meningkatkan kepuasan kerja. Pada akhirnya, tujuan kita bukanlah menghilangkan cognitive dissonance sepenuhnya, melainkan menjadikannya sebagai pendorong perubahan positif bagi individu maupun organisasi.
Untuk membaca artikel lain pada Look Media blog, klik pada tautan berikut. Look Media Blog.